Pages

Minggu, 20 Februari 2011

Tak Berujung dan Tak Bermakna

Suasana kampus mulai terasa sepi, ketika Ujian Akhir Semester selesai dilaksanakan. Anak-anak rantau memutuskan untuk balik ke kampung halaman mereka masing-masing untuk melepas rindu dengan sanak keluarga yang dulu selalu mengiasi hari-hari mereka.

Satu per satu, mereka melangkahkan kaki keluar dari sebuah kota MEGAPOLITAN Jatinangor. Suasana kian semakin sepi, jalanan yang dulu ramai dilewati manusia berwajah letih dengan kerutan di keningnya, kini hanya dilewati beberapa orang bercelana pendek dengan alas kaki seadanya.

Siang itu warung-warung di pinggir jalan kian sepi pelanggan, dagangan yang dulu laris kini seakan menumpuk. Hanya lalat yang beterbangan di atas daging kecil berwarna kecoklatan yang berbau harum di atas panggangan, ibu penjual nasi di warung itu terlihat murung mengelus keningnya sambil sesekali mengipas lalat yang terbang di atas dagangannya.

Suara bis, motor, mobil yang berlalu lalang kini mengurangi intensitasnya, tidak seperti biasanya berdengung terus-menerus hingga hampir membuat kepala pecah. Debu dan polusi pun semakin berkurang.

Hari semakin sore ketika matahari memutuskan untuk kembali ke peradabannya, meninggalkan keheningan di jalanan itu. Sejenak aktivitas orang-orang disekitar situ terhenti, tat kala suara adzan mengumandang dari masjid-masjid menambah suasana semakin haru.

Matahari telah pergi dan bulan pun datang. Lampu-lampu jalan berwarna-warni membuat malam itu indah. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara radio tua memutar lagu dengan melodi melow, sepertinya adalah lagu sunda.

Di jalanan itu tidak terlihat ada kendaraan berlalu lalang. Tapi dari ujung jalan yang tertutupi kabut itu terlihat cahaya kuning yang semakin mendekat. Semakin lama semakin mendekat. Tiba-tiba cahaya itu tepat di depan mata yang ternyata adalah cahaya dari lampu motor yang dikendarai seorang pemuda berjaket kulit hitam, ia mengemudi perlahan mungkin supaya tidak kedinginan.

Tiba-tiba lampu-lampu jalanan yang terlihat indah tadi lenyap dari pandanganku. Aku kembali menyusuri jalanan, menembus dinginnya kabut malam itu. Suara angin seakan bersiul di telingaku membuat bulu kudukku naik dan merinding. Aku merapatkan kedua bagian jaketku tanpa mengancingnya dan perlahan mengambil tutup kepala. Sesekali aku mengambil nafas dalam-dalam, begitu terasa dingin menusuk hingga ke paru-paruku.

"srek...srek...srek..." suara gesekan sandal yang kupakai terdengar seperti sebuah melodi, mungkin saking heningnya malam itu.

"awwuuuuuu..." anjing di seberang jalan itu pun mengaum, seakan melihat roh halus lewat (menurut orangtua-orantua zaman dulu), tentunya semakin menambah rasa gundah dihatiku. Aku mencoba tidak menghiraukan itu semua, aku berjalan terus, menatap ke bawah tepatnya aspal yang akan kujalani, tanpa melihat ke kanan, kiri, depan, belakang.

Aku merasa ini adalah tiba-tiba, aku sampai di sebuah kedai kelontong kecil. Sepertinya tidak ada orang disitu, tapi aku memanggil...
"permisii Aa, permisiii.."

Kemudian seorang lelaki paruh baya dengan kaus kutang usang dan kain sarung yang menutupi bagian kejantanannya menghampiriku dan bertanya dengan nada mendayu khas sunda.
"ia Aa, ada apa? mau beli apa ya?"

Aku sejenak berpikir, aku mau beli apa?. Aku sendiri bingung, karna memang aku tidak berencana membeli apapun...
Dengan gagap aku bilang saja, "saya mau beli korek, satu saja Aa"

Ia memberiku korek yang aku sendiri tidak tahu akan kuapakan. Kuterima koreknya dan kubayar dengan uang receh seharga lima ratus perak.

Kupandangi korek itu sambil menyusuri jalanan. Dan membaca tulisan-tulisan kecil di kotaknya. Kugenggam erat korek itu sambil menarik nafas panjang dan memasukkannya ke dalam saku celanaku. Kini kedua tanganku berada di dalam saku celanaku itu.

Berjalan dan berjalan terus, otakku kosong. Hanya dapat memandang apa yang ada di depanku dan berlalu ketika aku melaluinya. Terkadang aku senyam-senyum sendiri membayangkan hal lucu dipikiranku.

Angin malam itu bertiup begitu kencangnya, membuat penutup kepalaku lepas. Aku kedinginan. Lalu aku melepaskan tanganku dari saku dan berusaha membenarkan penutup kepala. Ternyata korek tadi juga terjatuh. Tapi aku belum menyadarinya. Setelah 10 langkah di depan dan ketika aku memasukkankan tanganku ke saku lagi baru aku menyadari korekku tadi hilang. Aku menoleh ke belakang tapi tak terlihat, berjalan mundur dan kemudian aku menemukannya kembali. Kugenggam erat lagi, kini kupegang terus ditanganku.

Kubuka perlahan baju petak yang menutupi badannya dan kepala-kepala yang terbuat dari sulfur, serbuk kaca, fosfor merah, dll itu. Kuangkat salah satunya, dan kugesekkan ke salah satu bagian di baju petak tersebut.

Tiba-tiba kepala itu berubah menjadi iblis dengan tanduk kecil dan taring tajam. Aku sempat ngeri melihat itu, karena tepat berada di depan wajahku. Kujauhkan, dan kupandangi.

Ternyata itu memberi kehangatan meski hampir membakar wajah. Aku tersenyum, dan kuulangi menggesek-gesekkannya di sepanjang jalan. Sampai akhirnya tinggal 1 kepala lagi. Kugesekkan dan aku tiba di depan sebuah kamar yang kecil tak berpenghuni dan kepala itu semakin kecil, semakin kecil dan akhirnya mati meninggalkan tubuhnya yang hangus.

0 komentar:

Posting Komentar