Pages

Kamis, 31 Maret 2011

Long Journey in Yogyakarta, Center Java, Indonesia

0 komentar
Oke guys, kali ini gue mau berbagi pengalaman tentang liburan. Tepatnya liburan ke kota pendidikan Yogyakarta. Jadi, buat lo semua yang pengen liburan kesana dan mau tau destinasi-destinasi yang oke serta pengeluaran yang dibutuhkan, tanpa panjang lebar, cedisot !!!

Bermula dari sebuah speak-speak ga penting, ketika kami ngebayangin serunya liburan ke luar kota, untuk mengisi libur panjang semesteran yang lalu. Akhirnya kami memutuskan untuk melakukan yang namanya "Long Journey in Yogyakarta".

Dua minggu sebelum kepergian, kami mulai grasak-grusuk membicarakan dan mempersiapkan kepergian secara lebih intens. Teman-teman yang ada di Jogja, dihubungi. Berharap ada yang mau memberikan tumpangan menginap selama kami disana. (Beruntung pacar teman gue adalah mahasiswa di salah satu universitas di kota pendidikan ini, jadi ga perlu repot-repot dan ngeluarin biaya lebih untuk menginap). Lalu bertanya kesana-sini, gimana jalan kesana, yaitu dari Jatinangor - Yogyakarta. Setelah itu, kita persiapkan barang-barang pribadi, supaya nanti disananya nggak kerepotan.

Rute yang kami tempuh ternyata cukup panjang. Berawal dari Jatinangor, naik angkot ke Stasiun KA Rancaekek dengan ongkos Rp. 2500/orang. Kemudian, kita naik KA menuju Stasiun Padalarang, dengan ongkos Rp. 2000/orang. Mengapa ke Padalarang? Karena, kami berniat untuk naik KA kelas ekonomi yang tentunya ekonomis. Sesampainya disana, kami mulai mengambil bagian dalam antrian loket karcisnya, tapi tiba-tiba, keraguan mulai hadir di benak kami. Lebih baik naik KA ekonomi dengan Rp. 31.000 atau KA bisnis yang harganya brlipat-lipat dari KA ekonomi, yaitu Rp. 115.000. Tapi, atas pertimbangan kenyamanan, kami memutuskan naik KA bisnis. (Belajar dari pengalaman naik KA ekonomi yang cukup dramatis). Tapi, karena semua KA yang berangkat dari Padalarang adalah KA ekonomi. Maka, kami memutar balik ke stasiun KA Bandung. Ongkosnya Padalarang - Bandung hanya Rp. 1000/orang. Sekitar 45 menit di atas kereta, kami sampai di Bandung dan langsung membeli karcis. Karena ada waktu senggang sekitar 1,5 jam menuju keberangkatan, kamipun mengelilingi stasiun, mencari makanan untuk mengisi perut.



Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 wib, artinya kami harus sudah menaiki gerbong kereta. Mencari kesana-sini tempat duduk, dan akhirnya ketemu. Kami sudah duduk rapi dan barang sudah disimpan. Tiba-tiba, ada penumpang menghampiri kami dan mengatakan, tempat yang kami duduki itu adalah tempatnya yang sesuai karcis. Dan setelah kami periksa benar-benar, ternyata memang benar itu tempatnya. Wahh, malu sekali rasanya saat harus pindah membawa ransel dan mencari-cari lagi. Lalu, kami tanya pak kondektur yang sedang berjalan-jalan, dan akhirnya kami diantarkan ke tempat kami yang benar. Huhh, lega rasanya setelah menempati kursi kami sendiri.

Kereta kami mulai melaju perlahan, dengan membunyikan bunyian khasnya "trroooonn, jesh.jesh..." (maaf kalo gue salah mengilustrasikan suaranya, :D ). Hari sudah gelap, hujanpun mengguyur kereta yang kami tumpangi. Udara dingin mulai menembus masuk ke dalam kereta melalui celah-celah jendela. Udara dingin itu ditambah kipas angin, membuatku menggigil, menembus jaket tebalku.

Sepanjang perjalanan, aku tidak bisa tidur pulas, sesekali pasti terbangun, takut-takut kelewatan, karena Jogja hanya stasiun singgahnya. Stasiun demi stasiun kami lewati, langit masih berwarna hitam kelabu dipenuhi embun tebal. Di kaca jendela terlihat titik-titik embun yang menetes terbawa angin, saking kencangnya kereta kami.

Pukul 05.00 wib, kami telah sampai di stasiun Tugu, Yogyakarta. Kegirangan mulai muncul, tat kala kami menginjakkan kaki di kota "keraton" itu. 2 orang teman telah menunggu di ruang tunggu. Salah satu dari mereka, melmbaikan tangan. Tapi sebelum menghampiri mereka, kami menyempatkan foto di stasiun itu.



Kemudian, kami dijemput dengan motor. Dan dibawa ke kontrakan mereka. Disitu, kami istirahat sejenak. Melepas kelelahan selama di kereta.

Hari pertama dimulai.
Setelah sarapan dan membersihkan tubuh, kami langsung pergi ke Malioboro, tepatnya pukul 10.00. Hanya dengan ongkos Rp. 3000, kita bisa naik bus Trans Jogja menuju Malioboro. Mulai berjalan di sepanjang jalanan malioboro, membeli ini-itu untuk oleh-oleh. Keluar-masuk dari satu toko ke toko yang lain. Hingga sampai ke salah satu toko batik yang sangat terkenal di Jogja, yaitu MIROTA BATIK yang katanya milik Sultan. Segala jenis barang ada disini, mulai dari pakaian, mainan, pajangan, sampai makanan pun ada. Hanya saja, harga disini menurutku lebih mahal dibandingkan dengan dagangan kaki lima malioboro. Tapi, bukan hanya itu, di toko ini kita juga bisa berfoto-foto, karena banyak objek yang bagus.



Menyebrang dari Mirota Batik, kita menemukan Pasar Bringharjo. Berbagai jenis pakaian ada disini, tapi lebih didominasi dengan batik. Makanan disini juga cukup banyak pilihan, seperti yang kami makan yaitu nasi gudeg + burung dara + aqua, harganya berkisar Rp. 30.000/2 porsi.

Setelah kenyang, kami melanjutkan perjalanan ke Benteng Vredeburg. Letaknya tidak terlalu jauh dari malioboro, bisa dilalui dengan berjalan kaki. Asyik melihat-lihat, tapi hanya dari luar. Lalu kami ke Taman Sari, yang masih merupakan bagian dari Kraton Jogja. Di salah satu sisi Taman Sari terdapat kolam renang, yang dulu katanya tempat mandi para selir/dayang-dayang sultan. Disini, jalannya berupa lorong-lorong dan sebagian bangunan ada yang roboh, tapi sering digunakan sebagai tempat pemotretan.

Malam harinya, kami berkeliling kota Jogja. Mulai dari depan kraton, alun-alun, malioboro, sampai "nangkring" di angkringan (lupa nama jalannya), tapi disitu berjejer penjual angkringan yang salah satu andalan minumannya adalah Kopi Joss, yaitu kopi yang dicelupin bara arang, jadi bunyinya jossss.

Setelah nge-joss ala Jogja, kini sudah saatnya kami beranjak ke Tugu Jogja. Waktu sudah menunjukkan pukul 03.00 wib, sengaja subuh-subuh, supaya bisa mengambil angel yang bagus. Dan supaya tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang.

"Ckrek..ckrek..ckrek.." foto demi foto kami ambil, serasa jadi model saja. Tapi itulah kenikmatan jalan-jalan, dan tentunya supaya ada bukti kalau kami pernah ke Jogja. Karena, konon katanya, jika tidak berfoto di Tugu Jogja, serasa belum pernah ke Jogja.

Malam semakin larut, kami pun beranjak pulang ke kontrakan teman tadi. Berbincang-bincang sebentar, lantas tertidur begitu saja.



Hari Kedua dimulai.
Hari kedua ini kami merencanakan untuk bermain air di pantai, sambil melihat sunset. Kami berangkat menuju Pantai Baron. Berjam-jam di atas motor, tidak membuat kami putus asa, hingga akhirnya kami sampai di TKP. Wahh, sedikit kecewa memang melihat air laut yang lagi pasang dan yang sudah sampai ke tempat peristirahatan. Tapi, itu tidak lantas mematahkan semangat untuk bermain ombak. Gue buka baju, celana dan semuanya, lantas mengolesi tubuh dengan sunblock. Sedikit pemanasan, kemudian berlari di sepanjang pantai, terus memanjat tebing seorang diri. Berlari tanpa alas kaki, kerikil-kerikil tajam tidak dihiraukan. Ketika sampai di puncaknya, gue melihat pemandangan yang luar biasa.



Hamparan air laut yang membentang luas ada di depan mata. Gue teriak sekencang-kencangnya, menyebut satu nama dan berteriak kencang. Berulang-ulang gue teriak, sampai perasaan lega, meskipun tenggorokan jadi serak. Setelah puas dengan itu, gue memutuskan untuk turun tebing. Ternyata, teman-teman yang lain sedang mencari-cari keberadaanku.



Ini saatnya main ombak bersama teman-teman yang lain. Begitu lipatan ombak mulai datang, kami bersiap-siap untuk menghadapinya. Saat ombaknya datang, kami lantas berteriak "huwaaaaa" (ungkapan kelegaan). Berulang-ulang seperti itu, higga perut pun mulai merasa lapar.



Kami bergerak menuju sebuah saung, disitu telah tersedia berbagai masakan dengan bahan dasar ikan (Sebelumnya kami sudah memesan ikannya, dari kapal nelayan yang baru pulang melaut). Wesss...wenak tenan rek!!. Kami menyantap ikan-ikan itu sampe puas, ber-potong-potong ikan telah kami habisi. Kini saatnya menikmati es kelapa/es degan, dengan suasana pantai yang sangat erat dengan desiran angin, kami mengisap air kelapa itu perlahan-lahan.

"slurrp...slurrp...slurrp...", nikmat sekali rasanya.



Perut sudah kenyang, matahari sudah mulai mau tenggelam. Lantas, kami memutuskan pergi ke Pantai Kukub untuk melihat Sunset, karena di Kukub kita bisa melihatnya dengan lebih jelas. Pantai Kukub tidak kalah indahnya dengan Baron, pasirnya yang putih, karang-karang tajam, airnya yang bening, terhampar di depan mata.



Kini air laut terlihat mulai menguning, langit kuning keemasan. Matahari mulai menenggelamkan dirinya ke dasar lautan. Pemandangan yang indah ini, tidak lantas kami biarkan lewat begitu saja. Foto demi foto kami ambil, untuk mengabadikan kenangan indah ini. Kami naik ke atas saung yang telah disediakan oleh pengelola tempat itu, untuk melihat sunset dengan begitu jelasnya. Setelah asik dengan sunset, kamipun beralih ke sebuah penangkaran ikan hias. Ada cukup banyak ikan hias disitu, cantik-cantik lagi, sampai seorang teman memutuskan membelinya.



Badan sudah mulai merasa lelah, kulit sudah mulai mengering, dan kami memutuskan untuk kembali pulang dan beristirahat. Waktu berjam-jam pun kami tempuh, agar sampai di kontrakan. Waktu sudah menunjukkan pukul 11 malam, dan kami baru sampai. Letih memang, tapi pengalamannya tidak akan terlupakan. Amazing.

Kini kita sudah memasuki hari ketiga.
Hari ini, kami memutuskan untuk berwisata ke salah satu keajaiban dunia beberapa tahun silam, yaitu Candi Borobudur.



Berjam-jam waktu diperjalanan melewati Magelang (pada saat itu, jalan terputus karena lahar dingin). Harga tiket masuk ke Candi saat itu Rp. 25.000/orang. Kami berempat, masuk dan mengitari candi ini. Tapi sayang sekali, kami dilarang menaiki stufa yang ada di puncak candi itu. Karena masih dalam proses pembersihan dari debu-debu vulkanik (beberapa waktu sebelum itu, terjadi letusan merapi). Asik berkeliling, kami lantas makan siang dan membeli berbagai cendera mata khas candi borobudur. Mulai dari baju-bajunya sampai pigura-piguranya.

Setelah seharian berkeliling Candi Borobudur, kami beranjak ke Candi Mendut yang letaknya tidak terlalu jauh dari Candi Borobudur itu. Disini, candinya jauh lebih kecil daripada Borobudur. Kami pun hanya mengambil foto di Mendut, berkeliling di sekitar candi tanpa masuk, karena layanan berkunjung saat itu sudah habis.



Lalu kami melanjutkan perjalanan ke sebuah tempat yang biasa digunakan untuk berdoa yaitu Sendang Sono. Sendang sono terkenal dengan keadaannya yang sunyi, enak dijadikan tempat untuk kusyuk memanjatkan doa-doa serta merenung. Terdapat banyak toko yang menjual berbagai buah tangan, seperti patung Yesus, rosario, kalung salib, lilin, dan lain-lainnya.

Kami membeli lilin, lantas berdoa di tempat-tempat yang telah disediakan. Ada banyak tempat yang bisa kita pilih untuk memanjatkan doa. Berhubung saat itu sudah tengah malam, kami pun berdoa di tempat yang sama. Doa demi doa kami panjatkan. Lalu menikmati secangkir kopi hangat di kedai yang ada disitu yang buka 24 jam. Asik berbincang-bincang, sampai-sampai kami hampir lupa waktu. Malam sudah semakin larut dan kami memutuskan untuk beranjak pulang. Dan kami sampai di rumah sekitar pukul 02.00 pagi.

Hari keempat tiba, yang merupakan hari terakhir kami di Kota Pendidikan ini.
Hari ini, kami merencanakan untuk "Wisata Kampus", maksudnya kami akan mengelilingi kampus-kampus yang ada di kota Jogja ini. Dimulai dari Universitas Gadjah Mada, Universitas Atma Jaya Yogayakarta, Universitas Sanata Dharma, UKDW, Universitas Pembangun Nasional dan lain sebagainya.



Hari itu sudah semakin larut, waktu hampir menunjukkan pukul 00.00 WIB. Artinya kami harus berangkat ke stasiun, menunggu kereta tumpangan kami yang berangkat pukul 00.00. Sekian lama menunggu, keretanya datang dan kami masuk ke dalam kereta. Mengucapkan salam perpisahan bersama teman-teman di Jogja, cukup membuat suasana haru. Tapi, 4 hari bersama mereka merupakan hari yang sangat indah, yang tidak dapat dilupakan begitu saja.

Kini kereta mulai melaju, meninggalkan dentingan gamelan di kota Yogayakarta. Di kereta, kami tertidur dan ketika bangun pagi itu, kami sudah sampai lagi di kota kembang Bandung. Rasanya, letih dan lelah di perjalanan cukup tergantikan dengan kenikmatan liburan kali itu. Semoga suatu saat nanti, kami dapat kembali berlibur disini dengan pengalaman yang lebih seru lagi.

" We love Jogja, the rich cultural heritage city "

Rabu, 30 Maret 2011

Tentang Sahabat

0 komentar
Guys, gue mau cerita dikit nih tentang yang namanya persahabatan...

Gue sendiri awalnya bingung apa sih itu sahabat dan persahabatan? Gimana sih, sampai kita bisa memiliki yang namanya sahabat?
Klise memang...

Gue pernah baca satu buku, "lupa judulnya". Intinya dia bilang, sahabat itu tidak datang dengan sendirinya, harus ada usaha mencari. Suatu proses selektif harus dilakukan untuk menemukan yang namanya sahabat.

Sahabat bukan cuma yang bisa kita ajak main. Yang hanya untuk merasakan kesenangan bersama, disaat gue mau berbagi kesenangan dia ada, tapi ketika susah, ya "dia asal ada aja".

Ada perbedaan antara teman dan sahabat, kalo gue sendiri memandangnya sahabat itu lebih intens. Memiliki lebih banyak manfaat.

Ketika lo senang, lo bisa bagiin ke dia, maka dia juga ikut senang donk? (pelajarannya : lo belajar berbagi)
Tapi pas dia susah, lo harus ada. Lo ngebantuin dia, meskipun ini membuat hidup lo ga seperti yang biasa atau menambah bahan pikiran lo. (pelajarannya : lo belajar mengerti keadaan orang lain)

Nah, gue juga pernah dengar talkshow dari luar negeri tentang friendship, "lupa juga judulnya" tapi ini gue tonton waktu gue masih di SMA kelas 3. Dari talkshow itu, kita disuruh mengungkapkan perasaan kita ke seorang teman yang kita anggap pantas untuk menjadi sahabat (sesudah melalui proses seleksi tadi). Jadi, disini kita seperti "nembak" pacar. Tapi ini kita lakukan sama temen. Kita harus ungkapkan, kalau kita memang ingin menjadi sahabatnya.

Sulit ya?? Memang.
Banyak yang harus kita korbankan. Misalnya rasa "GENGSI" ketika kita harus bilang 'dia' itu baik, gengsi bilang 'dia' itu bisa jadi motivasi kita, gengsi bilang lo nyaman sama dia. Pokoknya, pasti banyaklah ke-GENGSI-an yang kita rasakan. Nah, itulah yang harus kita lawan.
Kita harus berani bilang "itu tadi" ke dia. Supaya dia juga tau tentang perasaan lo.

Nggak jarang, RASA MALU kian muncul ketika kita harus mengungkapkannya. Kita terlalu takut resikonya, misalnya takut dia bilang gini :
1. Emang gue mau sahabatan sama lo?
2. Siapa sih lo, sok deket amat?
3. Jangan lebay dehh...
4. Yaelah, apaan sih lo?
5. and many more

Tapi, lo harus yakin. Tunjukin ke dia, lo memang mau jadi sahabatnya, (lo yang duluan ngomong, bukan berarti lo lebih buruk). Misalnya gini, "Tits, lo itu ternyata orangnya baik ya, gue ga nyngka selama ini lo ada buat gue. blablablabla... Setelah gue pikir-pikir, kenapa kita ga sahabatan aja? Gue mau jadi sahabat lo, blablabla...

Seandainya, lo hanya ngejalani hari-hari lo bareng dia. Tapi, ga pernah terlontar sekalipun kata "dia sahabat gue", "lo sahabat gue yang paling baik", "Gue bakal jadi sahabat terbaik buat lo", atau apalah...gue kira itu semua (maaf yee) BULLSHIT.

Gue kira, itu sama aja yang namanya teman. Yang bisa diajak seneng doank. Terkadang kata-kata itu, malah membuat kita lebih dekat, di samping harus ada perbuatan nyata juga.

Dalam bersahabat, komunikasi juga sangat penting. Gimana mau sahabatan, kalo lo aja jarang ngomongan? (ngomong bisa melalui berbagai media, ga cuma face to face loo..)

Komunikasi harus tetap terjaga dengan baik, artinya harus tetap ada komunikasi setiap waktu (kalo bisa tiap hari malah). Gimana caranya, bisa komunikasi tiap hari? sama pacar gue aja ga pernah...haha

Simple, kalo lo ketemu ya barenganlah cerita-cerita hal ga penting (artinya ga mesti pas yang penting aja baru ngomong). Terus kalo ga ketemu, kan ada banyak media, misalnya dari Social Networking, lo komen2 kek, cerita ga jelas disitu, walau sebentar tapi yang terpenting kualitas. Atau lewat sms, yang isinya misalnya "gue bosen nih", "Assekk, gue lagi makan bareng Justin Bieber #ngimpikaliyee", "Gue lagi di kampus, tapi bosen sama dosennya", "gue laperrr", "hihiii, si doi ngajakin gue jalan", atau bahkan cuma nulis "huaaayaaaammm (lo ngantuk maksudnya)". Buat dia kaya Sosial Networking lo, update status lo ke dia. Karena, kekonyolan malah membuat lebih dekat.

Ketika lo berbagi hal sepele seperti itu, artinya sudah mulai terjalin hubungan yang lebih intens yaitu persahabatan. Kemana lagi lo ngomong ga penting kalo gak ke sahabat?. Ke teman? Ntar, lo malah dianggep "apaaan sih nih anak, freaks deh". Tapi, kalo ke sahabat lo sendiri, gak usah ada "JAIM2an", biarkan dia tahu gimana lo luar-dalem.

Mungkin lo nganggep, kalo hal sepele kaya "komunikasi ini dan adanya ritual mengungkapkan keinginan menjadi sahabat" adalah hal ga penting. Lo SALAH !!. Karena melalui itu, menurut referensi gue, kita bakal saling menyadari tentang keberadaan seorang sahabat.

Jadi, lo bisa liat kan bedanya sahabat sama temen?
Kalo temen, ga bisa untuk melakukan kekonyolan, ke-freaky-an dan kebodohan2, tapi bersama sahabat lo bisa lakuin. So, having fun with your friendship guys. Take your friendship as soon as possible.

Selasa, 22 Maret 2011

I Miss You Mom

2 komentar
Sekarang usiaku sudah 19 tahun. Artinya, sudah 19 tahun aku keluar dari perut ibuku. Dan harusnya sudah 19 tahun aku hidup bersama ibu.

Sosok seorang ibu yang sangat kuhargai dan kuhormati, beliau adalah panutan untukku. Ia yang selalu merawatku dan memberi segala kebutuhanku. Aku sangat menyayanginya.

Ibuku memberi kasih sayang, memberi kehangatan serta melindungiku ketika tubuhku masih rentan. Ia adalah "Superhero" bagiku. Ia selalu ada tatkala aku membutuhkannya, ketika aku sakit dan ketika aku membutuhkan orang untuk berbagi kebahagiaan.

Senyum di wajahnya yang begitu sempurna, tak akan pernah lekang oleh waktu. Nasihat-nasihat yang terlontar dari mulutnya seakan selalu terngiang di telingaku.

Dulu, aku tinggal bersamanya berdua di rumah, karena bapakku bekerja dan pulangnya hanya sekali seminggu, sementara abang dan kakakku masih kuliah di Yogyakarta. Saat itu aku sakit, layaknya seorang anak kecil yang rentan terhadap penyakit. Aku mengeluh, meraung, menangis sampai membuatnya menangis. Tetesan air mata di wajahnya, tak terlupakan. Mungkin, itulah bentuk ungkapan kasih sayangnya padaku. Meskipun ia juga dalam keadaan sakit, tapi ia rela menggendongku yang berberat 25 kg, untuk berobat.

Ia tahu apa yang menjadi kesukaanku, mulai dari makanan, pakaian, mainan, bahkan jenis orang yang menjadi teman-temanku.

Ia juga pernah memarahiku, karena kenakalan dan kemanjaanku. Karena sering pulang terlalu sore, hingga lupa mandi dan makan.

Saat itu aku masih kelas 2 SD. Setiap pagi, aku dibanguninya. Disuruh mandi, sementara ia menyiapkan sarapan untukku. Begitu aku selesai mandi, aku memakai pakaian yang telah disiapkannya di atas tempat tidurku. Aku sudah rapi. Aku berlari menyusuri tangga rumah kami dan menghampirinya. Digiringnya aku ke teras depan rumah dan duduk di kursi itu berdua. Sambil ia menyulangiku, ia bercerita sembari memberi nasihat. Aku hanya sibuk menggoyang-goyangkan kakiku dan melahap nasi yang disuapkannya ke mulutku. Setelah selesai sarapan, bus sekolah datang. Ia mencium keningku dan memberiku uang saku, tidak banyak memang, hanya 3000 rupiah. Tapi, bagiku itu sudah cukup.

Hari-hariku lebih banyak kuhabiskan bersama teman-temanku di sekolah dan ibu. Demikian juga teman-teman di lingkungan rumahku. Setiap kali aku pulang sekolah, aku sering menemukan ibu tertidur di depan tv yang menyiarkan acara berita Liputan 6 Siang. Lalu aku makan siang. Setelah itu, pergi bermain dan kembali saat matahari mulai terbenam. Baju dan celanaku kotor, karena bermain kelereng. Lantas, ia menyuruhku mandi dan kemudian mengajakku makan malam.

Kami selalu melalui hari-hari seperti ini. Meskipun bapakku pulang, setiap hari Sabtu sore dan pergi lagi hari Senin subuh.

Hari itu, beberapa hari menjelang hari ulang tahunku. Aku meminta dibelikan sepeda baru yang bagus ke beliau. Tapi, ia tidak mengiakan permintaanku. Beberapa hari kemudian ia dan bapakku, mengajakku belanja. Awalnya aku hanya mengira ini adalah jalan-jalan yang biasa kami lakukan setiap minggu. Tapi, ternyata ia mengajakku ke toko sepeda.

Ia menyuruhku memilih sepeda yang kusuka, dan mereka membelikanku sepeda baru. Aku memang sangat senang saat itu. Di perjalanan menuju rumah, aku melihat Skuter yang terpampang di sebuah toko. Aku nyeletuk becanda, ingin dibelikan skuter itu. Tapi aku sadar, tidak mungkin lah. Sementara aku baru saja membeli sepeda baru, yang bagus pula.

Ini adalah hari ulang tahunku. Semua teman-temanku kuundang. Rumah dihias sedemikian rupa, penuh dengan ornamen-ornamen khas bila anak-anak merayakan ulang tahunnya. Siang itu, acara belum dimulai dan keluargaku belum ada satupun yang di rumah. Hanya aku dan sepupuku menunggu mereka di rumah.

Tak lama kemudian, mereka sudah pulang. Membawa cukup banyak barang belanjaan dan bingkisan. Hari semakin sore. Aku sudah rapi, menyambut kedatangan teman-temanku. Acara demi acara ku lalui, mulai dari kata sambutan-kata sambutan, doa-doa, pecah balon, games, potong kue, sulang-menyulang kue tar, sampai akhirnya pemberian kado. Teman-temanku memberikan kado mereka sambil menyalamiku, kemudian mengambil bingkisan dan pulang. Di saat semua sudah pulang, ibuku memelukku, memberi kado istimewa sebuah skuter baru. Yang awalnya hanya mimpi bagiku, tapi jadi kenyataan dibuatnya. Aku sangat senang tentunya. Dan ia juga memberiku baju kemeja bagus berwarna hitam. Tapi, aku tidak tahu kenapa, aku langsung bilang kalau aku tidak suka baju itu dan meninggalkannya. Hari itu sudah mulai malam, namun aku sibuk bermain skuter baru, sampai-sampai lupa makan.

Kemeriahan ulang tahunku kali itu, sangat luar biasa. Dan memang hanya itulah perayaan ulang tahunku yang kuingat.

Beberapa bulan kemudian, ibuku sakit dan pergi untuk selamanya. Meninggalkan aku yang masih membutuhkannya. Bagiku, ia pergi terlalu cepat, aku masih membutuhkan kasih sayangnya. Hingga pada saat pemakamannya, kakakku yang selalu ada di sampingku memakaikanku kemeja hitam kado ibuku dulu, yang pernah ku tolak. Sembari memakaikanku kemeja itu, kakakku bercerita, itu adalah kemeja terakhir yang bisa dibelikan ibu untukku. Itu adalah kado terakhirnya. Sambil ia menitikkan air mata dan kemudian memelukku.

Itu adalah saat terakhirku merayakan ulang tahunku bersamanya. Seakan ia telah tahu ini akan terjadi, ia berusaha mengabulkan semua keinginanku. Ia mewujudkan apa yang menjadi mimpi-mimpiku. Kasih sayangnya tulus untukku.

Kini, tidak ada lagi yang membanguniku saat akan pergi sekolah. Menyiapkan seragam sekolahku. Menyuapiku sarapan. Menunggu aku pulang bermain. Memarahiku saat pakaianku kotor dan pulang terlalu lama. Aku tidak akan menemukan lagi sosok ibu, yang tertidur saat aku pulang sekolah.

Kadang rumah itu terasa sangat sepi. Aku rindu teriakan beliu saat memanggilku untuk makan. Rumah itu memang terlalu sepi. Hanya keheningan yang dapat kurasakan. Aku pulang sekolah, berlari menaiki tangga, berharap ia kembali dan tertidur di depan tv. Tapi itu hanya harapan kosong. Hanya kekecewaan yang kudapatkan.

Hingga aku menyadari, bahwa kakakku masih ada di sampingku. Ia berusaha memberikan yang terbaik untukku. Ia melakukan apa yang dulu dilakukan ibuku padaku. Hingga akhirnya kakakku menikah dan pergi bersama suaminya. Dan aku tinggal bersama bapakku, yang mulai lebih sering pulang.

I Miss You Mom...
This song, I sing for you.

Ooh Bunda
Ada dan tiada
Dirimu kan selalu
Ada di dalam hatiku...

*** Jangan sia-sia kan kasih sayang seorang ibu, ketika kita masih bisa merasakannya ***

*** Ketika ia tak lagi di sampingmu, bahagiakan ia dengan hidupmu saat ini ***

Minggu, 20 Februari 2011

Tak Berujung dan Tak Bermakna

0 komentar
Suasana kampus mulai terasa sepi, ketika Ujian Akhir Semester selesai dilaksanakan. Anak-anak rantau memutuskan untuk balik ke kampung halaman mereka masing-masing untuk melepas rindu dengan sanak keluarga yang dulu selalu mengiasi hari-hari mereka.

Satu per satu, mereka melangkahkan kaki keluar dari sebuah kota MEGAPOLITAN Jatinangor. Suasana kian semakin sepi, jalanan yang dulu ramai dilewati manusia berwajah letih dengan kerutan di keningnya, kini hanya dilewati beberapa orang bercelana pendek dengan alas kaki seadanya.

Siang itu warung-warung di pinggir jalan kian sepi pelanggan, dagangan yang dulu laris kini seakan menumpuk. Hanya lalat yang beterbangan di atas daging kecil berwarna kecoklatan yang berbau harum di atas panggangan, ibu penjual nasi di warung itu terlihat murung mengelus keningnya sambil sesekali mengipas lalat yang terbang di atas dagangannya.

Suara bis, motor, mobil yang berlalu lalang kini mengurangi intensitasnya, tidak seperti biasanya berdengung terus-menerus hingga hampir membuat kepala pecah. Debu dan polusi pun semakin berkurang.

Hari semakin sore ketika matahari memutuskan untuk kembali ke peradabannya, meninggalkan keheningan di jalanan itu. Sejenak aktivitas orang-orang disekitar situ terhenti, tat kala suara adzan mengumandang dari masjid-masjid menambah suasana semakin haru.

Matahari telah pergi dan bulan pun datang. Lampu-lampu jalan berwarna-warni membuat malam itu indah. Dari kejauhan samar-samar terdengar suara radio tua memutar lagu dengan melodi melow, sepertinya adalah lagu sunda.

Di jalanan itu tidak terlihat ada kendaraan berlalu lalang. Tapi dari ujung jalan yang tertutupi kabut itu terlihat cahaya kuning yang semakin mendekat. Semakin lama semakin mendekat. Tiba-tiba cahaya itu tepat di depan mata yang ternyata adalah cahaya dari lampu motor yang dikendarai seorang pemuda berjaket kulit hitam, ia mengemudi perlahan mungkin supaya tidak kedinginan.

Tiba-tiba lampu-lampu jalanan yang terlihat indah tadi lenyap dari pandanganku. Aku kembali menyusuri jalanan, menembus dinginnya kabut malam itu. Suara angin seakan bersiul di telingaku membuat bulu kudukku naik dan merinding. Aku merapatkan kedua bagian jaketku tanpa mengancingnya dan perlahan mengambil tutup kepala. Sesekali aku mengambil nafas dalam-dalam, begitu terasa dingin menusuk hingga ke paru-paruku.

"srek...srek...srek..." suara gesekan sandal yang kupakai terdengar seperti sebuah melodi, mungkin saking heningnya malam itu.

"awwuuuuuu..." anjing di seberang jalan itu pun mengaum, seakan melihat roh halus lewat (menurut orangtua-orantua zaman dulu), tentunya semakin menambah rasa gundah dihatiku. Aku mencoba tidak menghiraukan itu semua, aku berjalan terus, menatap ke bawah tepatnya aspal yang akan kujalani, tanpa melihat ke kanan, kiri, depan, belakang.

Aku merasa ini adalah tiba-tiba, aku sampai di sebuah kedai kelontong kecil. Sepertinya tidak ada orang disitu, tapi aku memanggil...
"permisii Aa, permisiii.."

Kemudian seorang lelaki paruh baya dengan kaus kutang usang dan kain sarung yang menutupi bagian kejantanannya menghampiriku dan bertanya dengan nada mendayu khas sunda.
"ia Aa, ada apa? mau beli apa ya?"

Aku sejenak berpikir, aku mau beli apa?. Aku sendiri bingung, karna memang aku tidak berencana membeli apapun...
Dengan gagap aku bilang saja, "saya mau beli korek, satu saja Aa"

Ia memberiku korek yang aku sendiri tidak tahu akan kuapakan. Kuterima koreknya dan kubayar dengan uang receh seharga lima ratus perak.

Kupandangi korek itu sambil menyusuri jalanan. Dan membaca tulisan-tulisan kecil di kotaknya. Kugenggam erat korek itu sambil menarik nafas panjang dan memasukkannya ke dalam saku celanaku. Kini kedua tanganku berada di dalam saku celanaku itu.

Berjalan dan berjalan terus, otakku kosong. Hanya dapat memandang apa yang ada di depanku dan berlalu ketika aku melaluinya. Terkadang aku senyam-senyum sendiri membayangkan hal lucu dipikiranku.

Angin malam itu bertiup begitu kencangnya, membuat penutup kepalaku lepas. Aku kedinginan. Lalu aku melepaskan tanganku dari saku dan berusaha membenarkan penutup kepala. Ternyata korek tadi juga terjatuh. Tapi aku belum menyadarinya. Setelah 10 langkah di depan dan ketika aku memasukkankan tanganku ke saku lagi baru aku menyadari korekku tadi hilang. Aku menoleh ke belakang tapi tak terlihat, berjalan mundur dan kemudian aku menemukannya kembali. Kugenggam erat lagi, kini kupegang terus ditanganku.

Kubuka perlahan baju petak yang menutupi badannya dan kepala-kepala yang terbuat dari sulfur, serbuk kaca, fosfor merah, dll itu. Kuangkat salah satunya, dan kugesekkan ke salah satu bagian di baju petak tersebut.

Tiba-tiba kepala itu berubah menjadi iblis dengan tanduk kecil dan taring tajam. Aku sempat ngeri melihat itu, karena tepat berada di depan wajahku. Kujauhkan, dan kupandangi.

Ternyata itu memberi kehangatan meski hampir membakar wajah. Aku tersenyum, dan kuulangi menggesek-gesekkannya di sepanjang jalan. Sampai akhirnya tinggal 1 kepala lagi. Kugesekkan dan aku tiba di depan sebuah kamar yang kecil tak berpenghuni dan kepala itu semakin kecil, semakin kecil dan akhirnya mati meninggalkan tubuhnya yang hangus.